Tidak bisa dipungkiri bahwa kita khususnya bangsa Indonesia sedang berada dalam sebuah gaya hidup yang sangat membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi bangsa dan negara, yaitu gaya hidup hedonisme. Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dari manusia (Wikipedia). Dengan kata lain, mereka menganggap bahwa kepuasan mental dan fisik diukur dari banyaknya materi yang mereka miliki.
Perkembangan
teknologi yang teramat sangat pesat akhir-akhir ini menjadi salah satu penyebab
timbulnya gaya hidup ini, beragam teknologi baru bermunculan hanya dalam
hitungan hari. Memang, perkembangan teknologi tidak serta merta mesti
disalahkan, karena sesungguhnya banyak hal-hal positif yang bisa kita ambil
dari pesatnya perkembangan teknologi saat ini. Informasi-informasi penting akan
dengan mudah didapatkan, hanya dalam hitungan detik kita mampu mengetahui kabar
terbaru bukan hanya dari orang terdekat kita, melainkan dunia! Bayangkan betapa
luar biasanya kekuatan teknologi!
Selain
untuk mempercepat laju informasi, teknologi saat ini pun mampu membantu kita
dalam berbagai bidang maupun masalah yang menghampiri, bahkan kita mampu
belajar tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar karena bantuan teknologi.
Bisakah kalian membayangkan bagaimana sulitnya zaman dulu jika ingin
mengabarkan informasi terkini? Saling bertukar kabar? Jika bukan lewat surat,
ya tentu kita harus mendatangi orang yang kita tuju. Tapi sekarang semuanya
berubah, saling bertukar kabar hanya perlu menggerakan jari, dan wusss dalam
hitungan detik orang yang kita tuju pun menerimanya.
Jika
dulu ingin mendengarkan musik kita harus memiliki radio, tapi sekarang ribuan
lagu tersimpan rapi di saku celana. Jika dulu ingin menonton televisi harus
berdesakan dengan tetangga, sekarang kita tinggal buffering. Jika dulu mencatat
teori perkuliahan dengan berbagai alat tulis, sekarang hanya tinggal cekrek dan
semuanya tersimpan. Semua itu hanya sebagian kecil dari manfaat (atau mungkin
madhorot?) dari perkembangan teknologi zaman sekarang.
Tapi,
tanpa kita sadari semua kemudahan tersebut malah membuat kita menjadi seorang
yang kurang produktif, mayoritas masyarakat memiliki pola fikir yang sama,
hanya menjadi masyarakat konsumtif tanpa mau ikut mencipta atau mengembangkan.
Dari sanalah munculnya gaya hidup hedonisme, gaya hidup yang secara perlahan
menggerogoti dirinya hingga ke tulang. Perkembangan teknologi tanpa dibarengi
kesiapan mental dari masyarakat.
Coba
kita perhatikan anak muda sekarang, yang mereka cari hanyalah kesenangan dan
kenikmatan, baik fisik maupun mental. Tidak salah memang mencari kesenangan,
karena hidup tanpa kesenangan akan terasa begitu monoton, kurang menggairahkan,
bahkan cenderung membosankan. Tapi bukan berarti kita harus menghalalkan segara
cara untuk mencapai kesenangan, berlomba-lomba mencapai yang tertinggi dalam
hal materi, bukan pengetahuan. Berlomba-lomba memiliki gadget keluaran terbaru
dengan fitur paling canggih yang sebenarnya tidak mereka perlukan.
Coba
kita perhatikan gaya hidup anak muda sekarang, android di saku sebelah kiri,
iPhone di saku sebelah kanan. Tujuannya? Tentu agar dinilai tinggi oleh orang
lain. Mereka sudah melupakan norma-norma hidup, hanya demi kesenangan dan
kepuasan mereka sendiri. Tidak cukup dengan dua handphone di saku mereka,
mereka masih memiliki kamera yang sedang ngetrend, hanya untuk sekedar
ber-selfie ria, yang padahal jika menggunakan kamera dari ponsel mereka pun
sudah lebih dari cukup.
Ketika
dulu orang berlibur untuk melepaskan penat dari rutinitas sehari-hari, sekarang
liburan pun telah berubah fungsi sebagai ajang “hunting”, mencari spot-spot yang sempurna untuk dijadikan tempat
mereka berfose. Alam bukan lagi tempat untuk menyadarkan diri bahwa begitu
besar kuasa-Nya, melainkan menjadi tempat untuk tetap eksis di media sosial.
Ketika dulu warnet-warnet diisi
oleh para mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas-tugas kuliah mereka, sekarang
telah beraling fungsi menjadi sarang calon mafia. Anak-anak yang belum cukup
umur memenuhi setiap sudut warnet, tidak lain hanya untuk bermain game, yang didalamnya
mengajarkan kekerasan dan hal-hal negatif lainnya, dengan sebatang rokok di
jari mereka, merasa merekalah yang menguasai dunia ini.
Ketika dulu cinta diungkapkan
dengan karya-karya romantis nan indah, sekarang tak cinta jika tidak memberikan
tubuh. Pergaulan bebas sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat,
terutama anak muda. Merasa paling sengsara jika tidak memiliki pacar, merasa
paling hina jika jalan sendirian.
Ketika dulu sebuah tongkrongan
diisi dengan diskusi-diskusi sehat, sekarang semuanya beralih fungsi menjadi
sebuah ajang bergosip, berghibah, memamerkan yang mereka miliki, yang nyatanya
tidak lebih dari sekedar kotoran menjijikan yang mesti dibuang.
Tak malukah kalian terhadap para
pahlawan yang mengorbankan segalanya bahkan dirinya sendiri agar negara ini
merdeka, tapi kalian dengan sukarela dijajah oleh teknologi?
Dampaknya,
terciptalah fenomena masyarakat materialisme, masyarakat yang mementingkan
materi diatas segala, bahkan Tuhan sekalipun. Takut dibenci dan dikucilkan dari
pergaulan karena tidak memiliki gadget terbaru, yang berujung pada tindakan
bullying dan merendahkan. Mereka yang memiliki segalanya dianggap sebagai
golongan teratas, mereka dipuja karena memiliki segalanya, mereka dihormati
karena mampu melakukan apapun yang mereka inginkan, mereka terlindungi bahkan
dari hukum. Sedangkan orang yang serba kekurangan dianggap sebagai hama, hanya
penyakit yang mesti dibasmi. Bukankah kita semua sama di hadapan-Nya?
Miris
memang melihat fenomena yang terjadi di kalangan anak muda Indonesia, mereka
dicekoki oleh teknologi tanpa diberi pengetahuan dan kesadaran akan manfaat
sebenarnya dari teknologi tersebut. Mereka digiring menjadi manusia konsumtif
tanpa berfikir untuk menjadi produktif, menikmati tanpa ingin mencipta.
Jika
kita telaah lebih dalam, sebenarnya mereka semua adalah korban. Korban dari
peradaban yang mengesampingkan kemanusiaan. Korban dari para stake holder yang hanya memikirkan laba
tanpa memperdulikan kesehatan mental bangsanya. Pemikiran mereka dikendalikan
oleh para pemilik modal. Media yang seharusnya mendidik berubah menjadi racun
yang siap membunuh fikiran positif yang tersisa.
Acara-acara
televisi yang tidak berbobot menjadi penyebab utama bobroknya moral anak muda
bangsa ini. Kualitas musik yang semakin tidak karuan, acara-acara musik yang
isinya hanya mempertontonkan kekonyolan para host yang sebenarnya sama sekali
tidak lucu. Acara komedi yang menjurus ke penghinaan dan kemunduran moral,
saling mengeksploitasi kekurangan para pembawa acara. Acara berita yang semakin
mengkhawatirkan karena sarat akan kepentingan politik. Saling fitnah dan
menjatuhkan dalam infotainment hanya untuk kembali tenar. Acara-acara sinetron
yang semakin merusak akhlak dan moral anak bangsa, percintaan pengkhiatanan dan
perselingkuhan begitu kental memenuhi setiap acara yang seharusnya mengajarkan
kebaikan dan menguatkan nasionalisme bangsa. Film-film horror yang cenderung
memamerkan kemolekan tubuh wanita sebagai barang jual mereka. Miris memang
melihat televisi masa kini.
Acara-acara
tersebut diatas secara langsung atau tidak langsung telah merubah cara pandang
para pemuda dan pemudi Indonesia, gaya hidup mereka semakin ingin mengikuti
gaya hidup para tokoh dalam sinetron, anak SMA yang memakai mobil mahal,
perhiasan disekujur tubuh, baju sekolah yang minim, membentuk geng-geng dan
melecehkan mereka yang kekurangan, permusuhan karena hal sepele, berlomba dalam
mencari pacar bukan ilmu, padahal tujuan dibangun sekolah adalah untuk mencari
ilmu. Mungkin bagi beberapa anak yang beruntung lahir di keluarga yang berada
hal tersebut terlihat wajar, karena harta orang tua mereka yang tidak
terhingga. Tapi bagi anak-anak lainnya yang berada di keluarga yang hanya cukup
untuk makan dan kebutuhan primer lainnya, semua itu hanya angan belaka, yang
akhirnya mengakibatkan tindakan-tindakan yang merugikan, seperti memaksakan
kehendak kepada orang tua hingga orang tua berhutang hanya demi menyenangkan
anaknya yang tidak tahu diri, menipu, mencuri, bahkan menjual diri.
Fenomena
absurd tersebut akan semakin menjadi-jadi jika tidak segera ditanggulangi. Cara
pandang yang bobrok tersebut akan semakin mengakar jika tidak segera dibasmi
hingga ke pusatnya. Tapi apa daya, kekuatan para pemilik modal jauh lebih besar
dari kita. Bahkan komisi-komisi yang bertanggung jawab atas perfilman di
Indonesia pun seolah menutup mata dan telinga terhadap kritikan pedas dari
masyarakat. Entah karena mereka disokong oleh kekuatan yang lebih besar, atau
karena mereka pun tidak berdaya dihadapan para pemilik pertelevisian Indonesia.
Lalu,
jika mereka pun tidak mampu, apa yang harus kita lakukan untuk membenahi moral
bangsa ini? Cara sederhana yang bisa kita ambil adalah dengan merubah diri kita
sendiri dan orang-orang yang ada disekitar kita. Mulailah untuk meletakkan remote
tv dan lakukan hal-hal yang lebih positif. Karena acara-acara tersebut tetap
tayang disebabkan rating yang tinggi, dan rating yang tinggi disebabkan oleh
para penonton yang banyak, yaitu kita. Mungkin beberapa diantara kita banyak
yang menyalakan televisi hanya agar suasana tidak sepi, padahal kita tidak
menonton acaranya. Tapi tetap saja walau kita tidak menontonnya, tapi televisi
kita memutar acaranya, maka ratingnya akan tetap tinggi.
Bagi
para orang tua, mulailah untuk mengawasi dan memfilter acara bagi anak-anaknya,
bukankah tidak layak seorang anak sd menonton acara yang seharusnya ditujukan
kepada yang sudah dewasa? Jangan hanya demi menyenangkan anak-anak kalian harus
mengorbankan masa depan mereka, mengorbankan moral dan akhlak mereka, mengorbankan
kemanusiaan mereka. Cobalah untuk lebih selektif dalam memilah dan memilih
acara yang hendak ditonton, karena pengaruh televisi sangat teramat kuat bagi
pertumbuhan anak-anak terutama yang masih dibawah umur yang masih memiliki
keingintahuan yang sangat kuat.
Memang
sulit rasanya menghilangkan kebiasaan yang sudah mengakar dalam hampir tiap
hati masyarakat Indonesia. Apalagi jika hidup di masyarakat yang sadar maupun
tidak sadar sudah sangat mencintai pola fikir hedonisme tersebut. Tapi, jika
bukan kita lalu siapa lagi yang harus mencoba berubah? Jangan pernah berfikir “Ah
kalo Cuma gua yang berubah mana bisa bikin perubahan yang luar biasa”, karna
jika semua orang berfikir demikian maka siapa yang akan melakukannya? Cobalah untuk
berfikir “Orang lain mungkin ga mau berubah, gw aja yang berubah”, dan
bayangkan jika semua orang berfikir demikian, bukankah efeknya akan luar biasa?

